Wednesday, April 24, 2019

ENGLISH TO INDONESIA (POLITICS)


About 70 Japanese lawmakers visit Yasukuni Shrine

TOKYO
A cross-party group of about 70 Japanese lawmakers on Tuesday visited the controversial Yasukuni Shrine to pay respects to the country's war dead during its annual spring festival.
The Shinto shrine in Tokyo has often been a source of diplomatic friction with China and South Korea, which regard it as a symbol of Japan's militarism before and during World War II, as it honors convicted war criminals along with millions of war dead.
Prime Minister Shinzo Abe, who has strong backing from conservative groups, sent a ritual offering of a masakaki tree to Yasukuni on Sunday, the first day of the three-day spring festival, but again refrained from visiting the shrine.
"I think the deceased people will understand if it was a judgment for the country," Hidehisa Otsuji, vice president of the upper house and chair of the cross-party group, told a press conference, referring to Abe's decision not to visit the shrine.
Since taking office for the second time in 2012, Abe has only visited the shrine once, in December 2013. That visit brought Japan's relations with China and South Korea to their lowest point in many decades.
No other Cabinet ministers visited the shrine during the three-day festival, held at a time when Japan's relations with China are improving and Tokyo is preparing for Chinese President Xi Jinping's first visit in late June when it chairs this year's summit of the Group of 20 major economies in Osaka.
The shrine's annual spring and autumn festivals are its most important events. The lawmaker group's members usually visit Yasukuni during the two festivals, as well as on Aug 15, the anniversary of Japan's surrender in World War II.
The number of lawmakers who visited the shrine this time, including Masahisa Sato, a senior vice foreign minister, and Seiichi Eto, a special adviser to the prime minister, was almost the same as for last year's autumn festival.




GOOGLE TRANSLATE
Sekitar 70 anggota pembuat undang-undang Jepang mengunjungi Kuil Yasukuni

TOKYO - Sekelompok partai sebrang yang terdiri dari sekitar 70 anggota parlemen Jepang pada hari Selasa mengunjungi Kuil Yasukuni yang kontroversial untuk memberikan penghormatan kepada orang yang tewas akibat perang negara itu selama festival musim semi tahunannya.
Kuil Shinto di Tokyo sering menjadi sumber gesekan diplomatik dengan Cina dan Korea Selatan, yang menganggapnya sebagai simbol militerisme Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II, karena menghormati para penjahat perang yang dihukum bersama dengan jutaan orang yang tewas dalam perang.
Perdana Menteri Shinzo Abe, yang mendapat dukungan kuat dari kelompok-kelompok konservatif, mengirim persembahan ritual pohon masakaki ke Yasukuni pada hari Minggu, hari pertama festival musim semi tiga hari, tetapi sekali lagi menahan diri dari mengunjungi kuil.
"Saya pikir orang-orang yang meninggal akan mengerti jika itu merupakan penilaian bagi negara," Hidehisa Otsuji, wakil presiden majelis tinggi dan ketua kelompok  partai sebrang, mengatakan pada konferensi pers, merujuk pada keputusan Abe untuk tidak mengunjungi tempat pemujaan tersebut. .
Sejak menjabat untuk kedua kalinya pada 2012, Abe hanya mengunjungi kuil itu sekali, pada Desember 2013. Kunjungan itu membawa hubungan Jepang dengan Cina dan Korea Selatan ke titik terendah dalam beberapa dekade.
Tidak ada menteri kabinet lain yang mengunjungi kuil itu selama festival tiga hari, yang diadakan pada saat hubungan Jepang dengan China membaik dan Tokyo sedang mempersiapkan kunjungan pertama Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni ketika ia memimpin KTT Kelompok 20 tahun ini tahun ini. ekonomi utama di Osaka.
Festival musim semi dan musim gugur tahunan kuil adalah acara terpentingnya. Anggota kelompok anggota parlemen biasanya mengunjungi Yasukuni selama dua festival, dan juga pada 15 Agustus, peringatan penyerahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Jumlah anggota parlemen yang mengunjungi kuil kali ini, termasuk Masahisa Sato, wakil menteri luar negeri senior, dan Seiichi Eto, penasihat khusus perdana menteri, hampir sama dengan festival musim gugur tahun lalu.




MY TRANSLATE
Sekitar 70 orang anggota parlemen Jepang mengunjungi Kuil Yasukuni

TOKYO - Sekelompok lintas-partai yang terdiri dari sekitar 70 anggota parlemen Jepang pada hari Selasa mengunjungi Kuil Yasukuni yang kontroversial untuk memberikan penghormatan kepada orang yang mati akibat perang di negara itu selama festival musim semi tahunan.
Kuil Shinto di Tokyo sering menjadi sumber perselisihan diplomatik dengan Cina dan Korea Selatan, yang menganggapnya sebagai simbol militerisme Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II, karena menghormati para penjahat perang yang dihukum bersama dengan jutaan orang yang tewas dalam perang.
Perdana Menteri Shinzo Abe, yang mendapat dukungan kuat dari kelompok-kelompok konservatif, mengirim persembahan ritual pohon masakaki ke Yasukuni pada hari Minggu, hari pertama dari tiga hari festival musim semi, tetapi sekali lagi menahan diri untuk mengunjungi kuil.
"Saya pikir orang-orang yang meninggal akan mengerti jika itu merupakan pertimbangan bagi negara," Hidehisa Otsuji, wakil presiden dari majelis tinggi dan ketua kelompok lintas partai, mengatakan pada konferensi pers, merujuk pada keputusan Abe untuk tidak mengunjungi tempat pemujaan tersebut.
Sejak menjabat untuk kedua kalinya pada 2012, Abe hanya mengunjungi kuil itu sekali, pada Desember 2013. Kunjungan itu membawa hubungan Jepang dengan Cina dan Korea Selatan ke titik terendah dalam beberapa dekade.
Tidak ada menteri kabinet lain yang mengunjungi kuil itu selama tiga hari festival, yang diadakan pada saat hubungan Jepang dengan China membaik dan Tokyo sedang mempersiapkan kunjungan pertama Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni ketika ia memimpin KTT tahun ini untuk kelompok dari 20 ekonomi utama di Osaka.
Festival musim semi dan musim gugur tahunan kuil adalah acara terpentingnya. Anggota kelompok parlemen biasanya mengunjungi Yasukuni selama dua festival, dan juga pada tanggal 15 Agustus, saat peringatan penyerahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Jumlah anggota parlemen yang mengunjungi kuil kali ini, termasuk Masahisa Sato, wakil menteri luar negeri senior, dan Seiichi Eto, penasihat khusus perdana menteri, hampir sama dengan festival musim gugur tahun lalu.


Monday, April 15, 2019

INDONESIA TO ENGLISH (CULTURE)

ARTIKEL SL
Jepang Tak Kenal Budaya Memberi Tip, Ini 5 Alasannya

Jakarta - Budaya tip rupanya tidak ada di Jepang. Ada alasan mengapa memberi tambahan uang pada pegawai restoran tak umum dilakukan.

Banyak buku panduan wisata menyebut orang-orang Jepang berpikir memberi tip adalah hal tak sopan. Sampai-sampai sebuah jaringan restoran sushi Jepang ternama di New York City ikut memberlakukan aturan 'no tipping.'

Banyak orang heran mengingat memberi tip sangat umum dilakukan di Amerika dan banyak negara lainnya. Sora News 24 (23/8) merangkum alasan Jepang tidak mengenal budaya tip.

1. Memberi tip bukan budaya Jepang
Meski banyak buku panduan wisata menyebut orang Jepang menganggap memberi tip tidak sopan, sebenarnya tak sepenuhnya begitu. Mereka hanya merasa memberi tip adalah hal aneh.

Sama seperti di Amerika, 
Jepang juga memberlakukan aturan sektor pekerjaan mana yang pantas mendapat tip. Hanya saja di Jepang tidak ada sektor industri jasa yang masuk dalam kategori tersebut. Pegawai restoran dianggap sudah mendapat upah per jam yang tinggi hingga tak lagi membutuhkan tip.


2. Ada tip 'terselebung'

Saat mampir ke restoran Jepang, umumnya pegawai memberikan hidangan pembuka mungil bernama otoshi. Meski Anda tidak memesannya, Anda harus tetap membauar hidangan ini.

Otoshi biasanya dibanderol 500 yen atau sekitar Rp 65.800 per kepala. Nah, secara tidak langsung otoshi merupakan bentuk 'pemaksaan' pada pengunjung untuk memberi tip pada restoran. 

Kalaupun restoran tidak punya otoshi, biasanya mereka memberlakukan pajak layanan meja yang bisa juga jadi tambahan pemasukan pegawai restoran.


3. Restoran Jepang punya jam istirahat
Tak seperti gerai-gerai makanan cepat saji yang bisa buka hingga 24 jam, restoran Jepang biasanya tutup sementara usai melayani jam makan siang untuk buka kembali di sore hari. Biasanya pegawai restoran pada dua waktu itu pun diganti alias beda shift.

Dengan kata lain, jam kerja pegawai restoran di Jepang umumnya tak terlalu panjang. Hal ini membuat mereka sebenarnya sudah cukup dapat pemasukan dari gaji restoran saja, tanpa mengandalkan tip pengunjung.


4. Pegawai restoran dapat makan

Pemasukan tip pengunjung biasanya digunakan sebagai uang jajan pegawai restoran. Namun hal ini sepertinya tidak diperlukan di
 Jepang karena pegawai restoran sudah mendapat jatah makan setidaknya satu kali sehari.

Makanan ini disebut Makanan. Merujuk pada makanan yang dibuat khusus dapur restoran untuk dibagikan gratis pada pegawai. Biasanya makanai dibuat dari bahan-bahan segar di dapur. Tak jarang rasanya enak dan bahkan bisa dipromosikan untuk menu baru bagi pengunjung.


5. Restoran selalu berusaha memberi pelayanan terbaik
Tanpa mengandalkan tip pengunjung, restoran Jepang sudah punya standar untuk memberi pelayanan terbaik bagi para pengunjung. Hal ini terkait budaya kerja orang Jepang yang sangat baik, tak peduli apa jenis pekerjaannya.

Pada akhirnya kebijakan tidak memberi tip di restoran 
Jepang bukan berarti pengunjung tidak menghargai layanan pegawai, hanya saja sejumlah karakter budaya dan sosial setempat menjadikan memberi tip dianggap aneh atau bahkan tak sopan.










Google Translate
Japan does not know culture giving tips, these are 5 reasons
Source: https://food.detik.com/info-kuliner/d-4180397/jepang-tak-kenal-budaya-memberi-tip-ini-5-alasannya

Jakarta - Tipping culture apparently doesn't exist in Japan. There is a reason why giving restaurant staff money is not common.

Many tourist guidebooks call Japanese people think tipping is rude. To the extent that a network of well-known Japanese sushi restaurants in New York City follows the 'no tipping' rule.

Many people are surprised to remember that tipping is very common in America and many other countries. Sora News 24 (23/8) summarizes the reason Japan does not know the tip culture.

1. Tipping is not Japanese culture
Although many tourist guidebooks call Japanese people think giving tips is not polite, it's actually not entirely so. They just feel that tipping is a strange thing.

Just like in America, Japan also imposed rules on which work sectors deserve a tip. It's just that in Japan there is no service industry sector included in that category. Restaurant employees are considered to have received high hourly wages so they no longer need a tip.


2. There is a 'hidden' tip

When dropping into a Japanese restaurant, most employees give a small appetizer called otoshi. Even if you don't order it, you should still buy this dish.

Otoshi is usually priced at 500 yen or around Rp. 65,800 per head. Well, indirectly otoshi is a form of 'coercion' for visitors to tip restaurants.

Even if the restaurant does not have otoshi, they usually impose a table service tax that can also be added to restaurant staff.


3. Japanese restaurants have breaks
Unlike fast food outlets that can open up to 24 hours, Japanese restaurants usually close temporarily after serving lunch time to reopen in the afternoon. Usually the restaurant employees at the two times were replaced aka shift shifts.

In other words, the working hours of restaurant employees in Japan are generally not too long. This makes them actually have enough income from restaurant salaries, without relying on visitor tips.


4. Restaurant staff can eat

Entering visitor tips is usually used as restaurant employee snacks. But this does not seem to be necessary in Japan because restaurant employees have got a ration at least once a day.

This food is called food. Refer to food specially made for restaurant kitchens for free distribution to employees. Usually food is made from fresh ingredients in the kitchen. Not infrequently it tastes good and can even be promoted for new menus for visitors.


5. Restaurants always try to provide the best service
Without relying on visitor tips, Japanese restaurants already have standards to provide the best service for visitors. This is related to the Japanese work culture that is very good, no matter what type of work.

In the end, the policy of not giving tips at Japanese restaurants does not mean that visitors do not value employee service, only that a number of local cultural and social characters make tipping deemed strange or even rude.


MY TRANSLATE
Japanese is not familiar with giving tips culture, these are 5 reasons

Jakarta – giving tips culture apparently doesn’t exist in Japan. There’s a reason why giving additional money to the waitress is not common.
A lot of tourist guidebooks call that Japanese think tipping is rude. On the top of that a branch of famous Japanese sushi restaurant in New York City helped to state the no tipping rule.
Many people are surprised, considering that tipping are very common in America and many other countries. Sora News 24 (23/8) summarizes the reason why Japanese are unfamiliar with the giving tip culture.

1.    Tipping is not Japan culture
Although many tourist guidebooks say that Japanese consider tipping is impolite, it’s not completely true. They just feel like tipping is a weird thing.
Just like in the US, Japan also applies a rule about which sector of employment deserve a tip. It’s just that Japan doesn’t have a service industry sector that included in that category. Restaurant employees are considered to have received high hourly wages so they no longer need a tip.

2.    There is a “hidden tip”
When visiting a Japanese restaurant, most employees would give a small appetizer called otoshi. Even if you don’t order it, you still have to pay for it.
Otoshi is usually priced at 500 yen or around Rp. 65,800 per head. Well, indirectly otoshi is a form of 'coercion' for visitors to tip restaurants.
Even if the restaurant does not have otoshi, they usually impose a table service tax that can also be additional income to the restaurant staff.

3.    Japanese restaurant have a break
Unlike fast food outlets that can open up to 24 hours, Japanese restaurants usually close temporarily after serving lunch time to reopen in the afternoon. Usually the restaurant employees at the two times were replaced aka different shifts.
In other words, the working hours of restaurant employees in Japan are generally not too long. This makes them actually have enough income from restaurant salaries, without relying on visitor tips.

4.    They give waitress food
Visitors tip income are usually used as staff pocket money. But this does not seem to be necessary in Japan because restaurant employees have got food rations at least once per day.
This food is called food. Refer to free food specially made by restaurant kitchens for employees. Usually the food is made from fresh ingredients in the kitchen. Not infrequently it tastes good and can even be promoted for new menus for visitors.

5.    The restaurant always try to provide the best service
Without relying on visitor tips, Japanese restaurants already have standards to provide the best service for visitors. This is related to the Japanese work culture that is very good, no matter what type of work.
In the end, the policy of not giving tips at Japanese restaurants does not mean that visitors do not value employee service, only that a number of local cultural and social characters make tipping seemed strange or even rude.